Rabu, 07 Februari 2018

Polisi jujur di Indonesia kebanggaan Gus Dur

Polisi yang Tak Bisa Disuap Itu Bernama Hoegeng

Gus Dur secara berseloroh pernah berkata, “Hanya ada tiga polisi yang tak bisa disuap: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.” Hoegeng yang dimaksud Gus Dur adalah Jenderal Hoegeng Imam Santoso, mantan Kapolri, tahun 1968-1971. 

Lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921, Hoegeng berasal dari keluarga sederhana, sekalipun ayahnya tergolong priayi karena menjadi ambtenaar di pemerintahan Hindia Belanda. 

Menjadi polisi sebenarnya bukanlah cita-cita awalnya. Setelah menempuh pendidikan HIS, MULO dan AMS, Hoegeng melanjutkan kuliah ke Sekolah Tinggi Hukum, Recht Hoge School (RHS), di Batavia. Namun, kuliahnya tidak bisa diselesaikan karena Jepang keburu masuk yang membuat RHS dibekukan. 

Sambil menunggu panggilan bekerja di Radio Hoso Kyoku, eks-radio pemerintahan Hindia Belanda yang diambil alih Jepang pada 1942, Hoegeng mengikuti Kursus Kepolisian di Pekalongan. Lulus dari sana, ia ditempatkan di Kantor Jawatan Kepolisian Keresidenan Pekalongan. Pekerjaan ini ia jalani dengan setengah hati. Selain disiplin yang sangat ketat, ia juga kecewa bahwa sebagai jebolan RHS pangkat yang diperolehnya tergolong rendah, yaitu dua tingkat di bawah Inspektur Polisi Kelas II atau bintara.

Tetapi rupanya, garis tangannya menghendaki Hoegeng berjuang melalui jalur ini. Pada suatu ketika, terbuka lowongan mengikuti pendidikan lanjutan untuk menjadi kader tinggi kepolisian di SPN Sukabumi. Sebenarnya, Hoegeng tidak tertarik. Namun, ia didaftarkan oleh Wakil Kepala Kepolisian Keresidenan Pekalongan, Komisaris Polisi Kelas 1 Soemarto, untuk mengikuti pendidikan tersebut. 

Meski tidak sepenuh hati mengikuti tes seleksi, Hoegeng ternyata lulus, yang membuatnya kian mendalami ilmu kepolisian. Pada 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, George, Amerika Serikat. Setelah itu, pada 1952, ia berhasil menyelesaikan pendidikan kepolisiannya di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta.

Tugas pertamanya setelah menyelesaikan pendidikan kepolisian adalah sebagai Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DKPN) di Kepolisian Provinsi Jawa Timur. Tetapi reputasinya sebagai penegak hukum mulai terlihat jelas saat menjadi Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal (Ditreskrim) Kantor Kepolisian Provinsi Sumatera Utara sejak 1956. Bertugas di Medan saat itu, bagi seorang polisi muda, tidaklah mudah. Medan dikenal bukanlah tempat yang ramah bagi polisi yang jujur dan tak kenal kompromi, tetapi menggiurkan bagi mereka yang mau melanggar hukum.

Ujian pertama sebagai polisi segera Hoegeng hadapi begitu ia dan keluarganya tiba di Pelabuhan Belawan. Ia disambut oleh seorang pengusaha bertubuh gemuk, yang mengaku sebagai Ketua “Panitia Selamat Datang”, yang dibentuk oleh sejumlah pengusaha Medan. Pengusaha itu memberitahukan bahwa mereka sudah menyediakan rumah dan kendaraan bagi Hoegeng. Hoegeng juga siap diantar ke sebuah hotel yang telah disiapkan panitia. Namun, Hoegeng menolak secara halus dengan mengatakan bahwa fasilitas-fasilitas tersebut sebaiknya ditahan saja dulu. Ia juga akan segera memberitahukan panitia sekiranya memang memerlukan hotel. 

Setibanya di rumah dinas di Jalan Rivai, Medan, Hoegeng juga mendapat kiriman sejumlah barang perabotan rumah tangga dari pengusaha Medan, seperti mesin cuci, kulkas, dan mesin jahit. Awalnya, Hoegeng menolak secara halus agar si pengirim barang segera mengambil kembali barang-barang tersebut. Jika tidak diambil, ia akan mengeluarkannya dari rumah. Namun, pengusaha itu bersikeras tidak mau mengambilnya. Karena tidak diambil juga, Hoegeng pun mengeluarkan sendiri barang-barang tersebut. Ia letakkan begitu saja di depan rumahnya, hingga akhirnya barang-barang itu rusak terkena hujan dan terik matahari.

Karena tak mau kompromi, Hoegeng pun tak jarang mendapatkan ancaman pembunuhan. Salah satunya, saat ia dijadikan sasaran penembak jitu (sniper) ketika ia bertugas di kawasan pinggiran hutan Kota Medan. Beruntung, ia lolos dari maut, tetapi pelaku penembakan tidak berhasil ditangkap.

Ketika diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (tahun 1969 namanya menjadi Kapolri), pada 5 Mei 1968, Hoegeng menolak tinggal di rumah dinas Kapolri di Jalan Patimura. “Wah, Hoegeng tidak mau, nanti jika sudah pensiun, Hoegeng tidak punya rumah tinggal lagi,” ujarnya. Alhasil, ia tetap tinggal di rumah sewaannya di daerah Menteng. Selain menolak fasilitas, Hoegeng juga berulang kali menolak hadiah yang terkait dengan jabatan.

Suatu ketika, Didit, putra lelakinya, sepulang sekolah terkejut mendapati kiriman dua motor yang masih terbungkus plastik yang diletakkan di dekat kamarnya. “Semoga Papi tidak menolak. Mungkin kalau motor boleh. Daripada tidak dapat mobil, Lambretta pun lumayan,” pikirnya penuh harap. 

Ketika Hoegeng pulang kantor di sore hari, Didit yang mengintip dari lubang angin kamarnya melihat ayahnya memanggil ajudan begitu melihat dua motor Lambretta tersebut. Sesaat setelah melihat jam tangan, ia pun berkata, “Ini masih jam 16.00, masih ada orang di kantornya. Tolong motor ini dikembalikan lagi ke pengirimnya.” Didit yang mendengar perintah ayahnya hanya bisa mengelus dada sambil bergumam dalam hati, “Ya, pahit lagi.” 

Selain itu, masih teringat oleh Didit bahwa sebagai Kapolri, ayahnya berhak mendapat tanah kavling seluas 2.000 meter persegi di Kompleks Polri Ragunan. Namun, kavling itu pun ditolak oleh ayahnya, dan lebih memilih tetap tinggal di rumah sewaannya di Jalan Madura.  Pengalaman seperti itu membuat Didit sering kecewa, meski di kemudian hari ia merasa syukur dan bangga atas sikap keteladanan bapaknya.

Setidaknya, ada dua kejadian penting menyangkut penegakan keadilan dan HAM ketika Hoegeng menjadi orang nomor satu di kepolisian. Pertama, kasus perkosaan yang menimpa seorang perempuan penjual telur berusia 18 tahun, terkenal dengan sebutan kasus Sum Kuning, yang terjadi pada 1970. Konon, perkosaan ini dilakukan anak petinggi di Yogyakarta. Ironisnya, korban perkosaan sendiri malah ditahan karena dituduh memberikan laporan palsu.

Kasus ini semakin menarik perhatian masyarakat karena persidangannya dilakukan secara tertutup. Bahkan, wartawan yang menulis berita peristiwa ini harus berurusan dengan militer. Kemudian peristiwa ini melebar, sampai korban perkosaan ini dituduh sebagai anggota Gerwani, organisasi perempuan yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Kemudian dihadirkan pula seorang penjual bakso yang disangkakan sebagai pelaku pemerkosaan, yang tentu saja dibantahnya di pengadilan. Lantas, ada pula 10 pemuda yang disuruh mengaku sebagai pemerkosa, juga menyangkal melakukan pemerkosaan, bahkan bersumpah rela mati jika memerkosa.

Pada Januari 1971, Hoegeng membentuk Tim Pemeriksa Sum Kuning. Ia menegaskan, “Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, walaupun keluarga sendiri, kalau salah tetap kita tindak. Geraklah the sooner the better.” Belakangan, Presiden Soeharto turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di Istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Tim Pemeriksa Pusat Kopkamtib.

Kasus satu lagi adalah penyelundupan mobil mewah bernilai miliaran rupiah yang dilakukan Robby Tjahjadi. Persoalannya, penangkapan Robby tak serta-merta membuat ia ditahan. Ia hanya mendekam beberapa jam di tahanan polisi setelah ada jaminan dari seseorang. Tentu orang besar dan berpengaruh yang menjaminnya. Tetapi, Hoegeng tak merasa takut. Pada saat Robby kembali melakukan penyelundupan mobil mewah, bukan hanya Robby yang ditahan, tetapi pejabat yang menerima uang sogokan dari Robby juga ditangkap.

Ketegasan Hoegeng memang bukan cuma dalam menegakkan aturan, tetapi juga dalam mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran aturan. Itu terbukti saat istrinya, Merry Roeslani, hendak membantu mencari nafkah dengan membuka toko bunga. Toko bunga itu rupanya cukup baik perkembangannya. Pada 1960, sehari sebelum dilantik sebagai Kepala Jawatan Imigrasi (kini, Dirjen Imigrasi), Hoegeng meminta istrinya menutup toko bunganya. Alasannya, “Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,” jelas Hoegeng.

Hoegeng menyerahkan jabatan Kapolri pada Komisaris Jenderal Polisi Drs. Moh. Hasan pada 2 Oktober 1971, meski masa jabatannya belum habis. Masa pensiun Hoegeng diisi dengan kegemarannya bermain musik dan melukis. Grup musik Hawaiian Seniors sering tampil di TVRI pada 1970-an. Sementara dari hobinya melukis, Hoegeng menjual beberapa lukisannya untuk menafkahi keluarga. Maklumlah, uang pensiun Hoegeng hingga tahun 2001 hanya Rp10.000 saja, itu pun hanya diterima sebesar Rp7500. Baru pada 2001, ada perubahan gaji pensiunan seorang Jenderal Hoegeng dari Rp10.000 menjadi Rp1.170.000.

Pada 14 Juli 2004, Hoegeng mengembuskan napas terakhirnya, dalam usia 82 tahun. Ia dimakamkan di TPU Giri Tama, Desa Tonjong, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor.

Hoegeng memang tak memiliki tanah dan rumah yang tersebar di sejumlah daerah. Ia juga tak memiliki mobil-mobil mewah yang berjajar di garasi rumahnya. Namun, Hoegeng memiliki “harta” yang tak dimiliki semua polisi, yaitu kejujuran.

Source:rilis.id

1 komentar:

  1. If you're looking to lose kilograms then you certainly have to jump on this totally brand new personalized keto diet.

    To create this keto diet service, licenced nutritionists, fitness trainers, and top chefs united to produce keto meal plans that are productive, suitable, money-efficient, and delightful.

    From their grand opening in 2019, hundreds of people have already completely transformed their figure and health with the benefits a certified keto diet can provide.

    Speaking of benefits; clicking this link, you'll discover eight scientifically-certified ones provided by the keto diet.

    BalasHapus

If not me

Jika bukan aku, Sama sekali tak masalah bagiku. Kan kau sudah dewasa, tentu kau yang paling tau apa yang terbaik untukmu. Aku hanyalah ops...