Rabu, 03 Oktober 2018

If not me

Jika bukan aku,
Sama sekali tak masalah bagiku.

Kan kau sudah dewasa, tentu kau yang paling tau apa yang terbaik untukmu. Aku hanyalah opsi yang bisa kau pilih jika kau suka dan percaya. Tapi jika tidak, ya kau boleh dan sangat berhak untuk tidak memilihku. 

Jika bukan aku,
Sama sekali tak masalah bagiku.

Aku tak ingin kau memilihku hanya karena rasa kasihan melihatku. Jangan kau lakukan itu. Aku lebih baik ditolak dengan frontal olehmu daripada kau memilihku hanya karena rasa kasihan. Kau tau, hubungan ke depannya akan begitu rumit. Kau akan merasa tak enak untuk melepas dan aku merasa tak nyaman dengan hubungan yang sedang berjalan. Dan kau juga harus tau, ada kalanya seseorang yang memang tak cinta, akan meledak kejujurannya saat dia sudah jenuh menjalani. Dan itu nantinya, tentu akan menyakiti hatiku jauh lebih dalam lagi dibanding kau tolak aku di awal.

Jika bukan aku,
Sama sekali tak masalah bagiku.

Kau harus tegas memilih dengan siapa kau hendak menjalin hubungan. Jika kau tak memilihku, kau harus tegas menolakku. Jangan kau berikan perhatian-perhatian yang mungkin menurutmu biasa, tapi anggapanku itu adalah perhatian yang luar biasa. Aku sudah lelah dengan itu. Aku pernah merasakan perhatian dan kebaikan dari seorang wanita yang aku kira dia berbuat hanya untukku, tapi nyatanya pada semua orang dia begitu. Jangan, jangan kau lukai aku seperti itu dengan memberikan angin segar pada ekspektasiku.

Jika bukan aku,
Sama sekali tak masalah bagiku.

Aku hanya berharap, dengan siapapun kau menjalin hubungan, semoga bahagia menyelimutimu. Aku mencoba tegar dan menjadi bijaksana dengan tidak membencimu hanya karena kau tak memilihku. Sebab, jika seseorang benar-benar cinta, harusnya ia mendoakan yang terbaik dan mendoakan agar yang dicintainya bahagia selalu. Bukan dengan berubah menjadi pembenci yang selalu mengutuki dan menjadi sangat anti.

Kebahagiaanmu lebih penting daripada kau harus menerima aku. Jika menurutmu bersamaku membuatmu tak bahagia, aku akan mendukungmu dengan siapapun seseorang yang menurutmu bisa membahagiakanmu. Sekali lagi, hanya kaulah yang benar-benar tau dirimu. 

Di akhir tulisan ini aku ingin berpesan; dalam mencari pasangan, kau harus berhati-hati. Sebab yang terlihat tulus belum tentu benar-benar tulus. Banyak orang mengemas diri mereka baik padahal nyatanya tidak. Bukan, aku sama sekali tak bermaksud memberikan ancaman. Aku hanya ingin mengingatkan agar kau tak salah pilih lelaki yang akan menjadi kekasihmu. Inikan menjadi tanggung jawabku atas doa yang aku panjatkan agar kau bahagia selalu. Jika kau salah pilih dan kemudian kau tak bahagia, kan aku juga yang menderita melihatmu dari kejauhan. 

Doa tanpa ikhtiarkan percuma. Ikhtiarku hanyalah berpesan padamu untuk berhati-hati dengan segala tipu muslihat manusia. Termasuk aku. Kaupun bisa berhati-hati juga denganku. Siapa tau aku juga mencoba mengemas diriku dengan tipu muslihat demi membuatmu tertarik dengan membuat tulisan ini. 

Intinya, kau harus berhati-hati.

Sekali lagi,

Jika bukan aku,
Sama sekali tak masalah bagiku.

Jumat, 09 Februari 2018

Bukan Cuma Masalah Giting, Bagian 2/2

Source:pandji.com
Pandji Pragiwaksono, 8 Desember 2011.

Ganja bisa dimanfaatkan untuk apapun. Bisa ditanam dimanapun. Memprosesnya tidak perlu teknologi yang mutakhir.
Kalau anda memegan daun ganja dan anda gosok gosok ke telapak tangan, nanti akan keluar minyaknya. Minyak tersebut sering digunakan untuk obat sebagaimana kita pakai minyak telon dan minyak kayu putih. Bayangkan betapa mudahnya memanfaatkan ganja.
bayangkan betapa meruginya industri obat obatan negara negara maju yang mengandalkan pasar kita kalau kita bisa memanfaatkan daun ganja.
bayangkan betapa meruginya banyak sekali industri apabila ganja bisa dimanfaatkan.
Saya nggak nyimeng jadi saya ga peduli kalau ganja tetap ilegal untuk dihisap.
Tapi saya masih berpegang kepada pernyataan saya
Lebih baik anak saya nyimeng daripada ngerokok.
Mari saya terangkan
Pertama, kalau anak saya dewasa, mau ngerokok, nyimeng, itu urusan dia.
Saya tidak merokok, tapi kakak, adik, ibu saya merokok. Saya tidak melarang mereka karena mereka sudah cukup dewasa.
Kedua, kriminalisasi bahwa ganja LEBIH bahaya dari rokok terus terang aneh.
Rokok jelas JAUH LEBIH menyebabkan ketergantungan daripada ganja. Tidak percaya? Coba sendiri saja dan coba suruh teman anda yang perokok berhenti. Juga baca jurnal jurnal medis sekali kali supaya tahu kenyataan dibalik ucapan saya ini.
Rokok terbukti telah membunuh jutaan orang pertahun akibat langsung dari menghisap rokok. Bisa anda temukan datanya di mana mana. Sekarang, sebutkan 1 data, jurnal medis, hasil riset yang menyatakan pernah ada orang yang meninggal karena menghisap ganja.
Anggapan bahwa pecandu narkoba memulai semuanya dari menghisap ganja adalah argumen yang mudah dipatahkan. Coba tanya, apakah pencandu narkoba itu juga merokok? Kenapa tidak bilang candu narkoba dimulai dari menghisap rokok?
Mengapa seorang anggota DPR tertangkap basah menghilangkan pasal dalam RUU pengaturan tembakau yang menyatakan “rokok menyebabkan ketergantungan” ? Atas perintah siapa dia melakukan itu? Orang bloon macam mana yang bilang rokok tidak menyebabkan ketergantungan?
Ada riset yg menyatakan bahwa negara bagian di Amerika Serikat yang melegalkan ganja, ternyata angka kecelakaan mobilnya lebih rendah daripada negara yang mengilegalkan ganja. Ternyata, di negara bagian yang legalkan ganja, masyarakatnya berpindah dari minum bir ke nyimeng. Angka kecelakaan yang turun menyatakan bir lebih berbahaya sebagai pemicu kecelakaan daripada cimeng. Ada di majalah time terbaru bagian kesehatan kalau mau baca.
Sekali lagi, gue nggak nyimeng dan dukungan gue terhadap LGN bukan untuk ganja rekreasi (sebutan pemanfaatan ganja untuk dihisap) tapi untuk industri.
Baca baca lagi gih, dan elo akan menemukan bahwa daun ganja dengan varian bernama HEMP banyak dimanfaatkan untuk industri, dan mau diisep seladangpun HEMP tidak akan membuat elo giting. Go ahead, do your own research, Elo akan menemukan bahwa omongan gue ini benar.
Bahkan waktu Dhira (ketua Lingkar Ganja Nusantara) berdebat dengan juru bicara BNN, pihak BNNpun tidak bisa menjawab hingga akhirnya cuma bisa menutup dengan ucapan “Kami hanya menjalankan perintah Undang Undang”
Bagaimana dengan ucapan “Dari dulu ga akan pernah berhasil usaha melegalkan ganja, usaha kali ini pun akan percuma”
jawaban gue sederhana, dari kalimatnya aja udah keliatan yg ngomong kayak gitu mentalitasnya pecundang. hehe
Pemenang akan berkata “Susah, tapi pasti bisa”
Pecundang akan berkata “Susah, itu tidak mungkin”
Sejarah menyatakan bahwa belum tentu yang masyarakat umum anggap benar itu adalah kebenaran yang sesungguhnya
Contoh, dulu seluruh dunia berpikir bumi itu rata.
Kita smua tahu kini itu kesalahan yang tolol.
Dulu, seisi bumi berpikir bumi itu pusat tata surya.
Galileo Galilei sampai mati dihukum karena dianggap penghinaan kepada agama akibat keyakinannya bahwa mataharilah pusat tata surya (dulu adalah gereja yang menyatakan bumi pusat tata surya)
Copernicus melanjutkan argumen Galilei dan sekarang kita semua tahu, siapa yang benar.
Semua fakta fakta di atas, bisa jadi elo ga percaya.
Tapi mari gue tantang sekali lagi. Elo mau berhenti di ASUMSI bahwa gue ngarang, atau mau mencoba cari tahu kebenaran dibalik ucapan gue?
Elo mau langsung membenci, atau mau mencoba memahami?
kalau elo nggak mau, ya ngga rugi di gue.
Kalau mau, silakan baca buku Hikayat Pohon Ganja. Atau nggak usah beli deh, buka buka aja halamannya dan temukan kenyataan bahwa semua yang tertulis ada dasar jelas. Daftar pustaka dan catatan kakinya detil dan rapih.
Sekali lagi, gue bukan penulisnya. Gue cuman jadi moderator.

Pahami, bahwa ganja bukan cuma masalah giting.

Bukan Cuma Masalah Giting, Bagian 1/2

Source:pandji.com
Pandji Pragiwaksono, 8 Desember 2011.

Di balik keramaian “SBY nyimeng” gue menyimpan kesedihan
Sedih karena akhirnya yang terangkat dari ganja lagi lagi adalah “nyimeng”nya. Sebuah kesalahan yang harus gue akui, pemicunya gue sendiri. Padahal, ketika kita bicara cannabis sativa bisa sangat banyak yang dibahas diluar nyimeng.

Memang, nyimeng lebih mudah dipahami dan lebih dulu dipropagandakan
Dukungan gue terhadap legalisasi ganja, bukan karena gue nyimeng. Gue ga nyimeng, ngerokokpun engga. Juga sebenarnya bukan “legalisasi ganja” per se yang diincar teman teman Lingkar Ganja Nusantara, tapi pemanfaatan daun ganja semaksimal mungkin untuk kebaikan seluruh bangsa Indonesia
Banyak yang nanya “Elo itu ngomong uda punya dasar ga sih? Tau data datanya ga sih?
Gue bisa jawab, punya dan tau. Bahkan gue 319 halaman yang isinya fakta dan data tentang daun ganja.
Buku “Hikayat Pohon Ganja” bukan gue yang nulis, tapi gue mendukung isinya
Seperti gue mendukung isi buku “Purple Cow”nya Seth Godin, bukan berarti gue yang nulis kan?
Kalau yang elo tau dari ganja cuman cimeng, dan kalau yang elo tau adalah ganja itu 100% buruk tanpa manfaat positif, gue TANTANG elo kalau berani untuk membaca buku itu.
Kalau berani, coba untuk memahami sebelum memutuskan untuk membenci.
Siapa tahu elo pikir gue cuman akal akalan untuk elo beli bukunya, gue ceritakan kurang lebih apa isi buku tersebut.
Sekali lagi, buku itu adalah kumpulan data, jurnal medis, dan dengan kata pengantar oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat yang bahkan mengutip ayat suci Al Quran berkaitan dengan dukungannya.
Selama 12.000 tahun, daun ganja telah memberikan manfaatnya untuk umat manusia
Daun ganja, tersebar di 2/3 permukaan bumi menjadikannya sebagai salah satu tanaman yang paling mudah tumbuh di mana mana.
Tidak ada 1pun produk di muka bumi ini, yang tidak bisa dibuat oleh ganja.
Sejak dulu, pelaut menggunakan serat ganja untuk tali temali mereka, pakaian, layar, dll
Daun ganja adalah tanaman yang paling dimanfaatkan diseluruh muka bumi, hingga tahun 1930
Apa yang terjadi tahun 1930?
Amerika, krisis ekonomi parah
Dalam kondisi tersebut, mereka harus mengembalikan kondisi keuangan mereka. Saat itu, Amerika mengembangkan serat sintetis.
Serat sintetis ini, diproduksi dengan teknologi manufaktur yang saat itu hanya dimiliki Amerika. Sialnya, karakteristik dan kualitasnya serupa dengan serat dari daun ganja. Sementara daun ganja, tidak perlu menggunakan teknologi rumit untuk pemanfaatannya. Singkatnya, dagangan amerika, jeblok.
Amerika, kemudian mengeluarkan larangan terhadap tanaman Ganja dan merupakan negara pertama dalam sejarah yang melakukan pelarangan tersebut. Pelarangannya dikaitkan dengan isu ras, dengan melemparkan kabar bahwa ganja yang dihisap akan membuat budak budak kulit hitam beringas. Larangan ini disebarkan ke seluruh dunia.
Tidak lama, Amerika menjilat ludah sendiri ketika mereka memasuki Perang Dunia ke 2. Kemampuan produksi serat sintetis mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan perang. Akhirnya, mereka kembali menggunakan serat ganja untuk seragam, tas, tali temali, parasut, dll.

Setelah Perang Dunia 2, black campaign Amerika terhadap ganja menggunakan metoda yang berbeda.
Mereka mulai menyebarkan info bahwa Ganja bikin bodoh, bikin ketergantungan. Lewat PBB, mereka menyebar luaskan propaganda ini.
Ini menjawab tanda tanya besar “Mengapa sebuah tanaman yang dimanfaatkan di seluruh dunia selama ribuan tahun tiba tiba bisa jadi sesuatu yang jahat?”. Karena ulah Amerika di atas tadi
Apakah pemanfaatan ganja bisa mengejar Millenium Development Goals? Bisa menekan angka kemiskinan? Bisa.
Dan sudah terbukti.
Di mana?
Cina.
Cina, tidak menyetujui ganja untuk dihisap, tapi memanfaatkan daun ganja untuk industri.
Industri untuk apa?
Untuk apa saja.

Industri pakaian, serat ganja adalah serat pakaian kualitas terbaik makanya dipakai untuk baju perang dan parasut
Industri kendaraan (Henry Ford yang melihat minyak bumi akan kelak habis mengembangkan kendaraan yang tubuhnya terbuat dari serat ganja dan jaland engan biofuel dari ganja)
Industri medis, tercatat daun ganja dimanfaatkan jadi bagian dari pengobatan alzheimer, glaukoma, HIV/AIDS, Asma, kanker, Distonia, Epilepsi, Tuberkulosis, Sindrom Tourette, Osteoporosis, Kardiovaskular, Diabetes, dan masih banyak lagi penyakit yang kalau saya sebut akan sangat menyita tulisan ini. Ketika Amerika berencana menghentikan ganja medis, diprotes keras. Oleh kalangan dokter

Industri kertas, sekedar mengingatkan “Declaration Of Independence” Amerika serikat ditulis di atas hemp. Varian ganja untuk industri. 97% buku yang dicetak antara tahun 1900 – 1937 (waktu masih pakai ganja) masih kuat sampai 300-400 tahun sementara kertas dari serat kayu bertahan rata rata hanya selama 50 tahun. Untuk membuat kertas dengan jumlah yang sama, kertas dari serat pohon akan memakan lahan hutan lebih luas daripada kertas dari serat ganja
Ada banyak sekali pemanfaatan daun ganja untuk industri yang sudah digunakan dengan lazim oleh negara lain KECUALI oleh Indonesia.
Lha wong Amerika sendiri yang pertama kali mengeluarkan larangan aja sekarang sudah menggunakan ganja untuk industri. Mengapa Indonesia, negara yang terkenal memiliki ganja dengan kualitas terbaik dunia karena tanah yang subur, matahari yang melimpah, hujan yang mengguyur bumi, tidak bisa memanfaatkan ganja untuk kebaikan bangsanya?
Andaikan ganja dimanfaatkan untuk industri sebagaimana yang sudah lazim dilakukan buanyak negara lain, bayangkan tenaga kerja yang diserap. Bayangkan angka pengangguran yang turun dan dengan itu angka kemiskinan yang ditekan.

Rabu, 07 Februari 2018

Kisah Bang Ali, Gubernur Maksiat yang Membangun Jakarta

Ali Sadikin adalah Gubernur paling legendaris dalam sejarah Jakarta. Ia hadir di tengah situasi kacau, yang kala itu Jakarta sedang dilanda krisis ekonomi, pangan, dan kondisi politik pemerintah pasca G30SPKI.

Ali Sadikin menjadi gubernur yang sangat merakyat dan dicintai rakyatnya. Karena itu ia disapa akrab oleh penduduk kota Jakarta dengan panggilan Bang Ali sementara istrinya, Ny. Nani Sadikin, seorang dokter gigi, disapa Mpok Nani.

Pengangkatan Ali Sadikin oleh Bung Karno dengan mempertimbangkan beberapa hal, seperti perlunya keamanan di Jakarta dan pembangunan Jakarta harus terus berlanjut. Tapi yang paling penting adalah upaya Bung Karno membentengi dirinya atas hajaran Suharto yang secara sepihak mengumumkan Surat Perintah 11 Maret 1966, atau yang oleh Bung Karno disebut sebagai SP 11 Maret 1966 dan oleh kelompok Suharto disebut Supersemar.

Kekacauan politik yang sedemikian rupa, ditambah makin melemahnya Soekarno dalam berhadapan dengan Suharto, membuat Soekarno kuatir sendiri atas keamanan Jakarta, selain itu ia juga masih bermimpi untuk tetap menjaga Jakarta sebagai kota yang berbudaya, kota yang hidup sesuai dengan apa yang Bangsa Indonesia impikan.

Jelas bagi Bung Karno, bila ia meneruskan Sumarno (Gubernur sebelum Ali Sadikin) terus menjabat jadi Gubernur DKI, situasi kota tidak akan efektif, saat itu terjadi banyak sabotase dan sabotase yang paling kentara adalah sabotase ekonomi, seperti kelangkaan beras.

Di saat itu kemudian Ali Sadikin hadir dalam benak Soekarno, saat dirinya terus ditekan kelompok Suharto dan tekanan Internasional yang dilakukan pers barat, Bung Karno harus bertindak cepat : "Menyelamatkan Djakarta..!!"

Ali Sadikin akhirnya diangkat jadi Gubernur DKI pada 29 April 1966, Ali yang waktu itu masih menjabat Menteri Perhubungan, langsung bertindak sebagai Gubernur DKI. Pagi itu pukul 10 pagi di Istana Negara, Bung Karno melantik Ali dan bicara panjang lebar dengan Ali, disinilah kemudian Ali meresapi apa maunya Bung Karno.

Setelah mahkota kepemimpinan berada di era Soeharto, Ali Sadikin begitu banyak mendapat tekanan dari berbagai sisi. Salah satunya adalah Anggaran Jakarta yang tidak masuk akal.

Saat Ali Sadikin menghadap Pak Harto, Ali baru tahu bahwa anggaran Jakarta di masa Suharto awal berkuasa hanya Rp 66 juta per tahun..!

Budget anggaran belanja Rp. 66 juta rupiah setahun itu dinilai Bang Ali terlalu kecil untuk meningkatkan pelayan kepada Masyarakat. Ada 3,6 juta warga, yg jumlahnya terus meningkat karena urbanisasi. 60 % warga Jakarta saat itu tinggal di kampung yang becek dan menyedihkan. Sanitasi buruk, tidak ada fasilitas umum untuk menunjang kehidupan yang baik.

Hal pertama yang dilakukan Bang Ali saat itu adalah membentuk pola budaya kerja di antara pegawai Pemda itu sendiri. Sudah bukan rahasia lagi, sebagai Gubernur, Bang Ali memaki, berteriak bahkan ada yang ditempeleng karena disiplin kerja yang buruk. Sudah terbiasa dengar suara menggelegar “Sontoloyo“, “Goblok". Atau berkata "memang ini warisan nenek moyangnya!".

Mottonya adalah "Service is money, money is tax" sehingga "no tax no service". Bang Ali pernah berkata "Jangan rakyat mengharapkan dari saya jika tidak mau membayar pajak!!." Bang Ali saat itu sangat menggenjot pajak. Walau bukan pajak pribadi, tapi Bang Ali memungut pajak lewat pajak kepemilikan kendaraan bermotor, sampai pajak berniaga.

Ia bahkan berani melegalkan judi. Berdasarkan payung hukum UU no 11 tahun 1957 yang memungkinkan Pemerintah daerah memungut pajak atas izin perjudian. Cara ini adalah terobosan Bang Ali untuk membangun Jakarta. Terlebih dengan anggaran tahunan yang hanya 66 juta rupiah, dan selalu defisit setiap tahunnya.

Saat itu Ali Sadikin naik jeep-nya bersama seorang staf, Ali melihat banyak sekali orang Jakarta di pinggir-pinggir warung sedang berjudi. Ali perhatikan itu, dan Ali tahu, banyak kasino-kasino gelap bertumbuhan di Jakarta, tapi duitnya malah lari ke jago-jago beking, "Kenapa kasino itu tidak dilegalkan dan diambil pajaknya untuk bangun Jakarta? Kas Jakarta, kosong ... !!"

Menurutnya, daripada gelap, lebih baik dilegalkan dan uang pajak masuk ke kas pemda. Bang Ali juga menegaskan judi hanya untuk masyarakat Cina, karena sudah dianggap budaya dan juga judi untuk mereka yang bukan Islam.

Hanya saja, banyak warga pribumi yg beragama Islam yang ikut main judi. Bang Ali kesal sekali. Kata Bang Ali, “Kalau umat Islam ikut judi, artinya keIslaman orang itu yang bobrok!! bukan Gubernurnya. “

Bang Ali berkata, "Ini tanggung jawab saya di akhirat. Saya bilang ke Tuhan, ada 300 ribu anak yg tidak sekolah, dan 3 juta warga yg miskin. Kondisi sekolah di Jakarta saat itu, sekolah -sekolah hanya dengan lantai tanah dan dinding bambu dengan meja dijejali sampai 5 orang."

"Banyak ditemukan penyakit kusta di kota ini, bahkan anak - anak dengan perut buncit, gusi merah dan mata melotot!" Lanjut beliau.

Dengan uang judi, Bang Ali membangun kota Jakarta dan disalurkan untuk sekolah sekitar 20 milyar. Sampai tahun 1974, sudah 700 gedung sekolah dibangun.

Itu belum termasuk fasilitas sosial, puskesmas, perbaikan kampung MHT, membeli bus-bus, memperbaiki shelter, pembangunan jalan - jalan. Semua itu menghabiskan biaya 17 milyar, hampir seperempat dari total pengeluaran pembangunan DKI.

Lalu dengan uang pendapatan dari pajak judi, Bang Ali mendirikan Terminal Lapangan Banteng, Grogol, Cililitan, Blok M , Pulo Gadung dan banyak lagi.

Pada tahun 1974 ia dan team dari Jerman melakukan studi jaringan kereta api Jakarta yg berhubungan, dengan arus keluar masuk dari dan ke daerah lain.

Salah satu peninggalan Bang Ali yang terkenal adalah proyek perbaikan kampung MHT – Mohamad Husni Thamrin. Kampung di Jakarta saat itu tidak ada air bersih, tidak ada jalan, MCK diempang-empang, dan pintu rumah berhadapan dengan kakus. Dengan uang judinya, Bang Ali mulai menggarap lima daerah. Kampung Bali, Jawa, Pademangan, Keagungan dan Kartini. Lalu menyusul kampung lain.

Bang Ali sangat disiplin menertibkan ibukota, ia keras sekali soal sampah dan selokan. Ia pernah turun sendiri di tengah hujan waktu malam mengontrol aliran air di selokan yang mampet karena sampah. Dengan tangannya, ia menyodok-nyodok lalu mengangkuti sampah sendiri. Ia juga terjun ke lapangan dan menegur siapa-siapa yang tak disiplin dalam kebersihan di Jakarta.

Sementara sikap enterpreneur-nya amat terlihat, Bang Ali harus putar otak bisnisnya agar Jakarta menjadi kota yang menguntungkan. Bang Ali memanggil Ciputra yang di tempo lalu ditugasi Bung Karno bikin Ancol. Bang Ali meminta agar Ancol pembangunannya dipercepat, dan Ancol dalam waktu singkat jadi aset positif pemerintahan DKI.

Bang Ali juga membangun kebun binatang Ragunan, visi Ali Sadikin amat luar biasa soal kebun binatang ini, ia ingin Jakarta memiliki kebun binatang lengkap dengan studi dan pemeliharaan hewan. Saat itu Ragunan menjadi kebun binatang percontohan di Asia Tenggara, sebelum Singapura memiliki garden zoo-nya yang luar biasa.

Bang Ali amat ingat pesan Bung Karno agar Jakarta menjadi kota berbudaya, dan memiliki pusat kesenian. Ia mulai membangun Taman Ismail Marzuki (TIM) dan Kampung Betawi.

Di bidang pendapatan kota, Bang Ali adalah jagonya. Ia membangun Pasar Tanah Abang yang menjadi pusat perdagangan Jakarta. Sampai sekarang, Pasar Tanah Abang adalah pusat perdagangan tekstil di Asia. Pasar Tanah Abang terbukti membangkitkan secara berdikari kota Jakarta.

Di bidang promosi perdagangan, Bang Ali membangun Jakarta Fair. Jakarta Fair adalah kelihaian Bang Ali dalam membangun struktur bisnis kota. Jakarta Fair bukan saja jadi pusat perdagangan dan jasa banyak pihak, tapi jadi sumber pendapatan ekonomi masyarakat, Jakarta Fair ini adalah kelanjutan dari Pasar Malam Gambir yang dulu amat terkenal di jaman kolonial.

Bang Ali meminta Ciputra melalui Yayasan Jaya Raya untuk membantu pendirian majalah Tempo, karena kelompok jurnalis ini memiliki potensi. Lucunya, di nomor pertama penerbitan Majalah Tempo, isi Majalah ini justru menyentil Gubernur.

"Kritik diperlukan. Tapi kritik yg mengada-ada saya lawan." Kata bang Ali.

"Ini konsekuensi jadi Gubernur, kalau tidak mau dikritik, jangan jadi pejabat publik."

Bang Ali selalu menganggap kritik punya maksud baik. Kata Bang Ali, "Saya dikritik jadi Gubernur judi, Gubernur maksiat. Biar saja. Mereka tidak paham apa maksud saya."

Begitulah sosok Legendaris Gubernur Jakarta. Ia sangat cerdas dan pandai melihat celah. Ditekan berbagai pihak, mendapat kecaman dari beberapa lapisan masyarakat. Ia tetap pada prinsipnya, bahwa ia akan membawa Jakarta dengan setulus hati, sesuai janjinya pada Bung Karno, sosok idolanya. Bahkan ketika ia meninggalkan kursi Gubernur, bang Ali mewariskan surplus kas sebesar 115 milyar rupiah. Luar biasa!

Source:Hidden Secret [Buku Ali Sadikin Membenahi Kota Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi]

Polisi jujur di Indonesia kebanggaan Gus Dur

Polisi yang Tak Bisa Disuap Itu Bernama Hoegeng

Gus Dur secara berseloroh pernah berkata, “Hanya ada tiga polisi yang tak bisa disuap: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.” Hoegeng yang dimaksud Gus Dur adalah Jenderal Hoegeng Imam Santoso, mantan Kapolri, tahun 1968-1971. 

Lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1921, Hoegeng berasal dari keluarga sederhana, sekalipun ayahnya tergolong priayi karena menjadi ambtenaar di pemerintahan Hindia Belanda. 

Menjadi polisi sebenarnya bukanlah cita-cita awalnya. Setelah menempuh pendidikan HIS, MULO dan AMS, Hoegeng melanjutkan kuliah ke Sekolah Tinggi Hukum, Recht Hoge School (RHS), di Batavia. Namun, kuliahnya tidak bisa diselesaikan karena Jepang keburu masuk yang membuat RHS dibekukan. 

Sambil menunggu panggilan bekerja di Radio Hoso Kyoku, eks-radio pemerintahan Hindia Belanda yang diambil alih Jepang pada 1942, Hoegeng mengikuti Kursus Kepolisian di Pekalongan. Lulus dari sana, ia ditempatkan di Kantor Jawatan Kepolisian Keresidenan Pekalongan. Pekerjaan ini ia jalani dengan setengah hati. Selain disiplin yang sangat ketat, ia juga kecewa bahwa sebagai jebolan RHS pangkat yang diperolehnya tergolong rendah, yaitu dua tingkat di bawah Inspektur Polisi Kelas II atau bintara.

Tetapi rupanya, garis tangannya menghendaki Hoegeng berjuang melalui jalur ini. Pada suatu ketika, terbuka lowongan mengikuti pendidikan lanjutan untuk menjadi kader tinggi kepolisian di SPN Sukabumi. Sebenarnya, Hoegeng tidak tertarik. Namun, ia didaftarkan oleh Wakil Kepala Kepolisian Keresidenan Pekalongan, Komisaris Polisi Kelas 1 Soemarto, untuk mengikuti pendidikan tersebut. 

Meski tidak sepenuh hati mengikuti tes seleksi, Hoegeng ternyata lulus, yang membuatnya kian mendalami ilmu kepolisian. Pada 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal General School pada Military Police School Port Gordon, George, Amerika Serikat. Setelah itu, pada 1952, ia berhasil menyelesaikan pendidikan kepolisiannya di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta.

Tugas pertamanya setelah menyelesaikan pendidikan kepolisian adalah sebagai Kepala Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DKPN) di Kepolisian Provinsi Jawa Timur. Tetapi reputasinya sebagai penegak hukum mulai terlihat jelas saat menjadi Kepala Direktorat Reserse dan Kriminal (Ditreskrim) Kantor Kepolisian Provinsi Sumatera Utara sejak 1956. Bertugas di Medan saat itu, bagi seorang polisi muda, tidaklah mudah. Medan dikenal bukanlah tempat yang ramah bagi polisi yang jujur dan tak kenal kompromi, tetapi menggiurkan bagi mereka yang mau melanggar hukum.

Ujian pertama sebagai polisi segera Hoegeng hadapi begitu ia dan keluarganya tiba di Pelabuhan Belawan. Ia disambut oleh seorang pengusaha bertubuh gemuk, yang mengaku sebagai Ketua “Panitia Selamat Datang”, yang dibentuk oleh sejumlah pengusaha Medan. Pengusaha itu memberitahukan bahwa mereka sudah menyediakan rumah dan kendaraan bagi Hoegeng. Hoegeng juga siap diantar ke sebuah hotel yang telah disiapkan panitia. Namun, Hoegeng menolak secara halus dengan mengatakan bahwa fasilitas-fasilitas tersebut sebaiknya ditahan saja dulu. Ia juga akan segera memberitahukan panitia sekiranya memang memerlukan hotel. 

Setibanya di rumah dinas di Jalan Rivai, Medan, Hoegeng juga mendapat kiriman sejumlah barang perabotan rumah tangga dari pengusaha Medan, seperti mesin cuci, kulkas, dan mesin jahit. Awalnya, Hoegeng menolak secara halus agar si pengirim barang segera mengambil kembali barang-barang tersebut. Jika tidak diambil, ia akan mengeluarkannya dari rumah. Namun, pengusaha itu bersikeras tidak mau mengambilnya. Karena tidak diambil juga, Hoegeng pun mengeluarkan sendiri barang-barang tersebut. Ia letakkan begitu saja di depan rumahnya, hingga akhirnya barang-barang itu rusak terkena hujan dan terik matahari.

Karena tak mau kompromi, Hoegeng pun tak jarang mendapatkan ancaman pembunuhan. Salah satunya, saat ia dijadikan sasaran penembak jitu (sniper) ketika ia bertugas di kawasan pinggiran hutan Kota Medan. Beruntung, ia lolos dari maut, tetapi pelaku penembakan tidak berhasil ditangkap.

Ketika diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (tahun 1969 namanya menjadi Kapolri), pada 5 Mei 1968, Hoegeng menolak tinggal di rumah dinas Kapolri di Jalan Patimura. “Wah, Hoegeng tidak mau, nanti jika sudah pensiun, Hoegeng tidak punya rumah tinggal lagi,” ujarnya. Alhasil, ia tetap tinggal di rumah sewaannya di daerah Menteng. Selain menolak fasilitas, Hoegeng juga berulang kali menolak hadiah yang terkait dengan jabatan.

Suatu ketika, Didit, putra lelakinya, sepulang sekolah terkejut mendapati kiriman dua motor yang masih terbungkus plastik yang diletakkan di dekat kamarnya. “Semoga Papi tidak menolak. Mungkin kalau motor boleh. Daripada tidak dapat mobil, Lambretta pun lumayan,” pikirnya penuh harap. 

Ketika Hoegeng pulang kantor di sore hari, Didit yang mengintip dari lubang angin kamarnya melihat ayahnya memanggil ajudan begitu melihat dua motor Lambretta tersebut. Sesaat setelah melihat jam tangan, ia pun berkata, “Ini masih jam 16.00, masih ada orang di kantornya. Tolong motor ini dikembalikan lagi ke pengirimnya.” Didit yang mendengar perintah ayahnya hanya bisa mengelus dada sambil bergumam dalam hati, “Ya, pahit lagi.” 

Selain itu, masih teringat oleh Didit bahwa sebagai Kapolri, ayahnya berhak mendapat tanah kavling seluas 2.000 meter persegi di Kompleks Polri Ragunan. Namun, kavling itu pun ditolak oleh ayahnya, dan lebih memilih tetap tinggal di rumah sewaannya di Jalan Madura.  Pengalaman seperti itu membuat Didit sering kecewa, meski di kemudian hari ia merasa syukur dan bangga atas sikap keteladanan bapaknya.

Setidaknya, ada dua kejadian penting menyangkut penegakan keadilan dan HAM ketika Hoegeng menjadi orang nomor satu di kepolisian. Pertama, kasus perkosaan yang menimpa seorang perempuan penjual telur berusia 18 tahun, terkenal dengan sebutan kasus Sum Kuning, yang terjadi pada 1970. Konon, perkosaan ini dilakukan anak petinggi di Yogyakarta. Ironisnya, korban perkosaan sendiri malah ditahan karena dituduh memberikan laporan palsu.

Kasus ini semakin menarik perhatian masyarakat karena persidangannya dilakukan secara tertutup. Bahkan, wartawan yang menulis berita peristiwa ini harus berurusan dengan militer. Kemudian peristiwa ini melebar, sampai korban perkosaan ini dituduh sebagai anggota Gerwani, organisasi perempuan yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Kemudian dihadirkan pula seorang penjual bakso yang disangkakan sebagai pelaku pemerkosaan, yang tentu saja dibantahnya di pengadilan. Lantas, ada pula 10 pemuda yang disuruh mengaku sebagai pemerkosa, juga menyangkal melakukan pemerkosaan, bahkan bersumpah rela mati jika memerkosa.

Pada Januari 1971, Hoegeng membentuk Tim Pemeriksa Sum Kuning. Ia menegaskan, “Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, walaupun keluarga sendiri, kalau salah tetap kita tindak. Geraklah the sooner the better.” Belakangan, Presiden Soeharto turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di Istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Tim Pemeriksa Pusat Kopkamtib.

Kasus satu lagi adalah penyelundupan mobil mewah bernilai miliaran rupiah yang dilakukan Robby Tjahjadi. Persoalannya, penangkapan Robby tak serta-merta membuat ia ditahan. Ia hanya mendekam beberapa jam di tahanan polisi setelah ada jaminan dari seseorang. Tentu orang besar dan berpengaruh yang menjaminnya. Tetapi, Hoegeng tak merasa takut. Pada saat Robby kembali melakukan penyelundupan mobil mewah, bukan hanya Robby yang ditahan, tetapi pejabat yang menerima uang sogokan dari Robby juga ditangkap.

Ketegasan Hoegeng memang bukan cuma dalam menegakkan aturan, tetapi juga dalam mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran aturan. Itu terbukti saat istrinya, Merry Roeslani, hendak membantu mencari nafkah dengan membuka toko bunga. Toko bunga itu rupanya cukup baik perkembangannya. Pada 1960, sehari sebelum dilantik sebagai Kepala Jawatan Imigrasi (kini, Dirjen Imigrasi), Hoegeng meminta istrinya menutup toko bunganya. Alasannya, “Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,” jelas Hoegeng.

Hoegeng menyerahkan jabatan Kapolri pada Komisaris Jenderal Polisi Drs. Moh. Hasan pada 2 Oktober 1971, meski masa jabatannya belum habis. Masa pensiun Hoegeng diisi dengan kegemarannya bermain musik dan melukis. Grup musik Hawaiian Seniors sering tampil di TVRI pada 1970-an. Sementara dari hobinya melukis, Hoegeng menjual beberapa lukisannya untuk menafkahi keluarga. Maklumlah, uang pensiun Hoegeng hingga tahun 2001 hanya Rp10.000 saja, itu pun hanya diterima sebesar Rp7500. Baru pada 2001, ada perubahan gaji pensiunan seorang Jenderal Hoegeng dari Rp10.000 menjadi Rp1.170.000.

Pada 14 Juli 2004, Hoegeng mengembuskan napas terakhirnya, dalam usia 82 tahun. Ia dimakamkan di TPU Giri Tama, Desa Tonjong, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor.

Hoegeng memang tak memiliki tanah dan rumah yang tersebar di sejumlah daerah. Ia juga tak memiliki mobil-mobil mewah yang berjajar di garasi rumahnya. Namun, Hoegeng memiliki “harta” yang tak dimiliki semua polisi, yaitu kejujuran.

Source:rilis.id

Selasa, 06 Februari 2018

SEJARAH KEPEMIMPINAN ALI SADIKIN

Kisah-kisah Kerasnya Gubernur Jakarta Ali Sadikin
.

Salah satu karakter kepemimpinan Gubernur Jakarta periode 1966-1977, Ali Sadikin adalah tegas dan keras. Bahkan itu menjadi salah satu alasan utama dipilihnya ia menjadi Gubernur Jakarta oleh Presiden Sukarno waktu itu.

“Ada yang ditakuti dari Ali Sadikin itu. Apa? Ali Sadikin itu orang yang keras. Dalam bahasa Belanda ada yang menyebutnya een koppige vent, koppig. Saya kira dalam hal mengurus Kota Jakarta Raya ini baik juga een beetje koppigheid (sedikit keras kepala),” kata Bung Karno dalam pelantikan Gubernur Ali Sadikin.

Ada beberapa kisah koppig-nya Gubernur Ali Sadikin. Ketika Bang Ali meninjau suatu proyek massal. Bang Ali terkejut melihat pembangunan proyek itu macet, lantaran kontraktor terlambat memasok semen. Bang Ali ‘pun segera mengecek permasalahannya. Ternyata direktur perusahaan itu melanggar kontrak. Harusnya dia mengirim semen langsung dari pabriknya, bukan dari grosir atau tangan ketiga.

Maka, Bang Ali minta agar direktur perusahaan pemasok semen itu dipanggil. Pada panggilan pertama dan kedua, direktur itu mangkir. Baru pada panggilan ketiga sang direktur hadir. Orangnya ternyata masih muda.

Bang Ali bertanya kenapa sampai terlambat. Ternyata jawabannya berbelit-belit dan tidak jelas. Bang Ali pun naik pitam. Plak! Dia menampar direktur itu. Tidak cukup sekali, Bang Ali menamparnya tiga kali. Plak! Plak! Plak!

“Saya marah sekali, saya tempeleng dia tiga kali. Barulah dia berjanji akan segera memenuhi kontraknya. Benar juga, pada hari berikutnya kiriman semen sudah masuk ke proyek,” kata Bang Ali.

Di antara kisah lainnya, Bang Ali pernah memerintahkan sopirnya mengejar truk yang ugal-ugalan. Dihentikannya itu truk, disuruhnya turun itu sopir, dan ditempelenglah itu sopir. Setelah itu baru dinasihati.

Bang Ali juga dikenal sangat membenci stafnya yang tak becus. Selama menjabat sebagai Gubernur Jakarta, Bang Ali tercatat memberhentikan sekitar 300 pegawai yang terbukti menyelewengkan atau menyalahgunakan kekuasaan dan jabatannya. Tapi tindakan ini sengaja dilakuan secara diam-diam. Tujuannya agar tidak meresahkan masyarakat.

Pernah suatu ketika, Bang Ali membaca berita mengenai ketidakberesan bawahannya. Dia ‘pun mengambil spidol merah, mencoret berita di koran itu dan berteriak. “Goblok, sontoloyo, panggil orangnya,” kata Bang Ali saat itu.

Namun, seperti disampaikan sendiri oleh Bang Ali, ia sebenarnya tak ingin keras. Hanya saja, ada saja alasan untuk marah dan keras untuk kebaikan rakyat. “Sifat saya yang paling jelek, cepat naik darah dan meledak-ledak. Sedangkan perasaan saya biasanya sangat halus dan peka, terhadap ketidakadilan. Pada dasarnya, saya tidak akan marah tanpa alasan. Kalau saya marah pun saya jelaskan kenapa saya marah, sehingga jarang yang dendam pada saya. Dendam itu tidak boleh,” ujarnya. (berbagai sumber)

Sejarahri.com
#lostinhistory

Soeharto 'Antara Korban&Pelaku'

D  I  K  H  I  A  N  A  T  I

Empat belas tahun setelah Tragedi Tanjung Priok berdarah dan kasus Peledakan  BCA 1984, Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998. Disamping mewariskan pembangunan fisik yang bernilai positif bagi bangsa, rezim ini juga mewariskan  kelemahan mentalitas bangsa seperti tradisi korup serta hidup mewah dikalangan elite. Untuk bisa hidup mewah, elite penguasa mempraktekkan KKN dengan pengusaha besar, melupakan kepentingan rakyat yang berakibat melebarnya jurang antara yang kaya dengan rakyat jelata yang semakin hari  kian bertambah miskin.

Selama berkuasa, Presiden Soeharto memprioritaskan pertumbuhan ekonomi nasional, economic growth, yang mengacu pada percepatan kenaikan GNP (gross national product). Presiden menelantarkan perkembangan  ekonomi nasional, economic development, yang mengembangkan potensi ekonomi masyarakat dalam rangka pemerataan pendapatan nasional.

Kebijakan mengejar pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi besar besaran yang memerlukan modal besar, menyebabkan Presiden Soeharto memanjakan pengusaha pengusaha besar (yang umumnya WNI keturunan) dengan berbagai kemudahan kredit ratusan triliun rupiah dari Bank Indonesia, yang kita kenal sebagai KLBI (Kredit Likiditas Bank Indonesia), dan juga membiarkan konglomerat itu meminjam uang besar besaran dari luar negeri.

Kebijakan kredit besar besaran kepada konglomerat inilah yang terbukti menghancurkan perekonomian nasional. Ketika terjadi krisis moneter, keuangan negara kosong karena dana milik negara sudah disalurkan sebagai KLBI kepada konglomerat. Para konglomerat apatriotik yang mendapat kepercayaan dana kredit raksasa justru memindahkan dana yang dikuasainya itu keluar negeri, hal  inilah yang menyebabkan krisis moneter di Indonesia menjadi paling parah.

Pada medio 1996 terjadi pemindahan lebih dari US$ 100 milyar milik swasta dari bank bank di Indonesia ke bank bank yang ada di Singapura, yang menjadi penyebab melambungnya harga dollar dan merosotnya nilai rupiah. Krisis moneter ini berlanjut menjadi krisis ekonomi dan politik yang menyebabkan rezim Orde Baru runtuh. Ini menunjukkan bahwa para konglomerat itu tahu bahwa krisis akan terjadi, lalu ia memindahkan kekayaannya ke Singapura. Ini berarti para konglomerat itu telah mengkhianati Presiden Soeharto, meninggalkan Presiden Soeharto sendirian dihujat bangsanya karena selama berkuasa memanjakan para konglomerat tersebut.

Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembangunan sebelum krisis moneter, para konglomerat Indonesia membanggakan diri sebagai motor pembangunan ekonomi nasional, tetapi ternyata pondasi ekonomi itu keropos. Data ekonomi makro Indonesia akhir 1995 menunjukkan bahwa walaupun GNP Indonesia masih lebih baik dari China dan Vietnam, tetapi potensi konflik sudah terakumulasi karena kesenjangan ekonomi di berbagai komponen bangsa teramat besar, justru karena pemerintah menganak-emaskan konglomerat dan tidak memberdayakan ekonomi rakyat. Kesenjangan itu terjadi antara pelaku ekonomi nasional dengan pelaku ekonomi asing. Antara golongan kaya dengan golongan miskin, teristimewa antara pribumi dengan non pribumi.

Sumber:
Kasus Peledakan BCA 1984
Rachmat Basoeki Soeropranoto.

If not me

Jika bukan aku, Sama sekali tak masalah bagiku. Kan kau sudah dewasa, tentu kau yang paling tau apa yang terbaik untukmu. Aku hanyalah ops...